Jumat, 27 Januari 2012

Apakah Thimerosal Penyebab Autisme ?E-mail
Written by Administrator   
Monday, 13 July 2009 09:29

Apakah Thimerosal pada vaksin VHB Penyebab Autisme ?

Setiap tahunnya penderita Autisme semakin banyak jumlahnya dan di beberapa negara terdapat kenaikan angka kejadian penderita Autisme yang cukup tajam. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para pakar kesehatan di dunia .
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Di Amerika Serikat disebutkan autisme terjadi pada 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan angka kejadian autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak

Kontroversi yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi anak. Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa beberapa jenis imunisasi khususnya beberapa kandungan di dalam imunisasi seperti Thimerosal dapat mengakibatkan autisme.

Saline Bernard adalah perawat dan juga orang tua dari seorang penderita Autisme bersama beberapa orang tua penderita Autisme lainnya melakukan pengamatan terhadap imunisasi merkuri. Kemudian mereka bersaksi di depan USHouse of Representatif (MPR Amerika) bahwa gejala yang diperlihatkan anak autisme hampir sama dengan gejala keracunan merkuri.

Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika: kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autismedisebabkan oleh reaksi dari vaksinasi. Sedangkan beberapa orang tua penderita autisme di Indonesia pun berkesaksian bahwa anaknya terkena autisme setelah diberi imunisasi
Pada anak sehat bila menerima merkuri dalam batas toleransi, tidak mengakibatkan gangguan. Melalui metabolisme metalotionin pada tubuh anak, logam berat tersebut dapat dikeluarkan oleh tubuh. Tetapi pada anak Autisme terjadi gangguan metabolisme metalotionin.Kejadian itulah yang menunjukkan bahwa imunisasi yang mengandung thimerosal harus diwaspadai pada anak yang beresiko autisme, tetapi tidak perlu dikawatirkan pada anak normal lainnya. FDA menetapkan peraturan penggunaan thimerosal sebagai bahan pengawet vaksinyang multidosis untuk mencegah bakteri dan jamur.
WHO, dalam rekomendasinya yang terakhir pada bulan Agustus 2003 tetap menetapkan bahwa imunisasi yang mengandung Thimerosal tidak berhubungan dengan terjadinya Autisme. Kandungan yang ada di dalam vaksin adalah etilmerkuri bukan metilmerkuri. Etilmerkuri hanya mempunyai paruh waktu singkat di dalam tubuh, sekitar 1,5 jam, selanjutnya akan dibuang melalui saluran cerna. Sedangkan metilmerkuri lebih lama berada di dalam tubuh.
Selanjutnya mari kita simak bagaimana tanggapan dari seorang dokter berikut ini : 
Mohon informasinya mengenai Vaksin Hepatitis B untuk Bayi, 
1. Di Indonesia apakah Vaksin Hepatitis B untuk Bayi mengandung Thimerosal ?
2. Apakah Thimerosal menyebabkan Autisme ?

Terima kasih.
-eva-
Jawaban:

Saudari Eva yth,
Berikut jawaban pertanyaan Saudari:
1. Vaksin hepatitis B yang dipasarkan di Indonesia ada yang bebas thimerasol, namun ada juga yang masih mengandung thimerasol dalam jumlah yang sangat kecil (< 0,5 µ¬g). Perlu Saudari ketahui bahwa semua vaksin yang dipasarkan di Indonesia telah mendapat izin edar dari Badan Pengawan Obat dan Makanan setelah dilakukan evaluasi terhadap efektifitas, keamanan, dan mutu vaksin. Evaluasi ini dilakukan terus menerus berdasarkan bukti ilmiah terbaru.
 
Jurnal Toxicological Sciences melaporkan konsentrasi thimerosal untuk menimbulkan efek toksik adalah antara 405 µg/l - 101 mg/l atau setara dengan kadar merkuri 201 µg/l - 50 mg/l. Sedang bila dihitung rata-rata, bayi berumur 6 bulan mendapat akumulasi paparan merkuri maksimal dari vaksinasi sebesar 32 - 52 µ¬g/kg berat badan. Pada perhitungan lebih rinci, angka ini hampir 4 kali lipat lebih rendah dari batas minimal tersebut.
 
2. Autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Penyebab kelainan ini bersifat multifaktor. Selain faktor genetik/keturunan, faktor lingkungan juga mempengaruhi. Faktor lingkungan dapat diperoleh baik selama kehamilan maupun setelah anak lahir. Terpapar logam beracun (seperti merkuri/air raksa, timbal hitam) adalah salah satu (bukan satu-satunya) faktor pemicu. Merkuri yang didapat dari lingkungan bisa lebih besar daripada merkuri yang didapat melalui vaksinasi, misalnya yang terdapat pada ikan dan makanan laut lainnya. Saat ini memang ada dugaan bahwa autisme berhubungan dengan thimerosal, namun penelitian yang ada sekarang belum bisa membuktikan bahwa dugaan tersebut dapat dibenarkan atau ditolak.
 
Memang tidak sedikit orang tua yang anaknya mengalami autisme sangat percaya bahwa autisme anaknya disebabkan imunisasi (bukan hanya hepatitis B, karena yang mengandung thimerosal tidak hanya vaksin hepatitis B, tetapi juga DPT, DT, dan MMR). Berkaitan dengan belum adanya bukti ilmiah yang mendukung, imunisasi tetap diberikan, mengingat manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Namun, jika ada faktor genetik, misal dalam keluarga terdapat anggota keluarga yang autisme sebaiknya tidak menggunakanvaksin yang mengandung thimerosal, dan tentu saja hindari sumber-sumber logam berat lain seperti seafood dan polusi udara.
 
Demikian jawaban saya, semoga dapat permasalahan Saudari. Terima kasih atas pertanyaannya.
(dr. Edi Patmini)
MENYIKAPI KONTROVERSI AUTIS DAN IMUNISASI MMR

Dr Widodo Judarwanto SpA, Rumah Sakit Bunda Jakarta



Dalam waktu terakhir ini kasus penderita Autis tampaknya semakin meningkat pesat. Autis tampak menjadi seperti epidemi ke berbagai belahan dunia. Dilaporkan terdapat kenaikan angka kejadian penderita Autis yang cukup tajam di beberapa negara. Keadaan tersebut di atas cukup mencemaskan mengingat sampai saat ini penyebab autis multifaktorial, masih misterius dan sering menjadi bahan perdebatan diantara para klinisi.

Autism adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi MMR (Mumps, Measles, Rubella). Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi MMR dapat mengakibatkan Autisme. Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa autism tidak berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa Autis dan imunisasi MMR berhubungan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.

Pendapat yang mendukung autism berkaitan dengan imunisasi :
Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan Autis mungkin berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan, pernah dilaporkan kasus meningoensfalitis pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa tempat lainnya. Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat, kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak dapat dijelaskan, defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual atau bicara yang serupa dengan gejala pada anak autism.

Andrew Wakefielddari Inggris melakukan penelitian terhadap 12 anak, ternyata terdapat gangguan Inflamantory Bowel disesase pada anak autism. Hal ini berkaitan dengan setelah diberikan imunisasi MMR. Bernard Rimland dari Amerika juga mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Wakefield dan Montgomery melaporkan adanya virus morbili (campak) dengan autism pada 70 anak dari 90 anak autis dibandingkan dengan 5 anak dari 70 anak yang tidak autism. Hal ini hanya menunjukkan hubungan, belum membuktikan adanya sebab akibat.

Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autisme disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi. Sedangkan beberapa orang tua penderita autisme di Indonesiapun berkesaksian bahwa anaknya terkena autisme setelah diberi imunisasi

Pendapat dan rekomendasi yang menentang imunisasi menyebabkan autisme
Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa MMR tidak mengakibatkan Autisme lebih banyak dan lebih sistematis. Dales dkk seperti yang dikutip dari JAMA (Journal of the American Medical Association) 2001, mengamati anak yang lahir sejak tahun 1980 hingga 1994 di California, sejak tahun 1979 diberikan imunisasi MMR. Menyimpulkan bahwa kenaikkan angka kasus Autis di California, tidak berkaitan dengan mulainya pemberian MMR.

Peneliti lainnya seperti Makela A, Nuorti JP, Peltola H tim peneliti dari Central Hospital Helsinki dan universitas Helsinky Finlandia, Kreesten Meldgaard Madsen, Brent Taylor, The Royal College of Paediatrics and Child Health dan Intitute of medicine (suatu badan yang mengkaji keamanan vaksin) telah melakukan kajian yang mendalam antara hubungan Autisme dan MMR. Mereka secara umum menegaskan, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung adanya hipotesa hubungan antara imunisasi MMR dan Autis.
Beberapa institusi atau badan dunia di bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya juga melakukan kajian ilmiah, penelitian dan berdasarkan pengalaman klinis berbasis bukti (evidence base medicine). Secara umum menyimpulkan, tidak adanya hubungan imunisasi dan Autis. Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi kepada tenaga profesional untuk tetap menggunakan imunisasi MMR karena tidak terbukti mengakibatkan Autis didasarkan kajian tentang keamanan dan efikasinya.

Beberapa institusi kesehatan dunia tersebut adalah The All Party Parliamentary Group on Primary Care and Public Health, WHO (World Health Organisation), beberapa institusi dan organisasi kesehatan bergengsi di Inggris (termasuk the British Medical Association, Royal College of General Practitioners, Royal College of Nursing, Faculty of Public Health Medicine, United Kingdom Public Health Association, Royal College of Midwives, Community Practitioners and Health Visitors Association, Unison, Sense, Royal Pharmaceutical Society, Public Health Laboratory Service and Medicines Control Agency), The Committee on Safety of Medicine (Komite Keamanan Obat), The Scottish Parliament’s Health and Community Care Committee, The Irish Parliament’s Joint Committee on Health and Children dan The American Academy of Pediatrics (AAP).

Bagaimana sikap kita sebaiknya ?
Bila mendengar dan mengetahui kontroversi tersebut, maka masyarakat awam bahkan beberapa klinisipun jadi bingung. Untuk menyikapinya kita harus cermat dan teliti dan berpikiran lebih jernih. Kalau mengamati beberapa penelitian yang mendukung adanya autis berhubungan dengan imunisasi, mungkin benar sebagai pemicu. Secara umum penderita autis sudah mempunyai kelainan genetik (bawaan) dan biologis sejak awal. Hal ini dibuktikan bahwa genetik tertentu sudah hampir dapat diidentifikasi dan penelitian terdapat kelainan otak sebelum dilakukan imunisasi. Kelainan autism
ini bisa dipicu oleh bermacam hal seperti imunisasi, alergi makanan, logam berat dan sebagainya. Jadi bukan hanya imunisasi yang dapat memicu timbulnya autis.

Penelitian yang menunjukkan hubungan keterkaitan imunisasi dan autis hanya dilihat dalam satu kelompok kecil (populasi) autis. Secara statistik hal ini hanya menunjukkan hubungan, tidak menunjukkan sebab akibat. Kita juga tidak boleh langsung terpengaruh pada laporan satu atau beberapa kasus. Misalnya, bila orang tua anak autis berpendapat bahwa anaknya timbul gejala autism
setelah imunisasi. Kesimpulan tersebut tidak bisa digeneralisasikan terhadap anak sehat dalam populasi lebih luas. Kalau itu terjadi, kita akan terpengaruh oleh beberapa makanan yang harus dihindari penderita autism
juga harus dihindari anak sehat lainnya. Jadi, logika tersebut harus dimengerti dan dipahami dengan baik.

Penelitian dalam jumlah besar dan luas secara epidemiologis lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang bergengsi pun telah mengeluarkan rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR. Hal ini juga menambah keyakinan, bahwa memang Imunisasi MMR memang benar aman dan tidak mengakibatkan Autis.

Melihat laporan klinis yang mendukung autis dan MMR, sangatlah bijaksana untuk lebih waspada bila anak sudah tampak ditemukan penyimpangan perkembangan atau perilaku sejak dini. Dalam keadaan seperti itu, sebaiknya harus berkonsultasi lebih dahulu dengan dokter anak sebelum imunisasi MMR. Mungkin bisa saja menunda dahulu imunisasi MMR, sambil menunggu dipastikannya diagnosis Autis dapat disingkirkan. Dalam hal seperti ini, harus diketahui dengan baik resiko, tanda dan gejala autis sejak dini.

Bila anak sehat, tidak beresiko atau tidak menunjukkan tanda dini gejala Autis maka tidak perlu kawatir untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran terhadap imunisasi tanpa didasari pemahaman yang baik dan pemikiran yang jernih akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang baru pada anak. Dengan menghindari imunisasi, beresiko terjadi akibat yang lebih berbahaya dan dapat mengancam jiwa. Terutama bila anak terkena infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi

Benarkah Anak Autis Bisa Disembuhkan?

Oleh : Innes
Foto : Ist
Ghiboo.com - Para peneliti mengungkapkan bahwa banyak anak yang menderita autis saat usia masih kecil, tak lagi menunjukkan gejala autisnya saat mereka tumbuh dewasa.

Dalam survei yang dipimpin oleh Dr Andrew Zimmerman dari Massachussetts General Hospital for Children, menunjukkan sepertiga anak yang dulunya pernah didiagnosis mengalami gangguan spektrum autism dilaporkan tidak lagi memiliki diagnosa tersebut saat mereka beranjak dewasa, dan mereka dianggap tidak lagi menderita autis.

Temuan yang dipublikasikan dalam journal Pediatrics ini sebelumnya mempelajari data dari survei telepon terhadap 92.000 orangtua yang anaknya berusia 17 tahun atau lebih muda antara rentan waktu 2007-2008 di Amerika Serikat.

Sebanyak 1.366 orangtua mengatakan bahwa anaknya menderita gangguan spektrum autis pada masa lalu hingga saat ini. Sekitar 453 dari kasus tersebut, anak yang didiagnosa dokter mengalami gangguan tetapi orangtuanya mengatakan anaknya kini tak menderita autis lagi.

Para peneliti menemukan anak-anak dengan ketidakmampuan belajar atau terlambat berkembangnya lebih mungkin untuk mengalami autis. Hal ini juga berlaku bagi anak yang lebih tua yang menderita epilepsi dan kecemasan. Namun, anak-anak atau remaja dengan masalah pendengaran di awalnya kurang mungkin dianggap autis di kemudian hari.

Tim mencatat bahwa autisme cenderung berkembang seiring dengan berbagai gangguan mental dan perilaku lainnya. Mereka berspekulasi ini bisa mempersulit diagnosis, atau memperlambat perkembangan pada anak-anak yang didiagnosa dan diobati sejak dini.

Namun meskipun begini, masih banyak ahli yang kurang sependapat dengan hasil penelitian ini. Mereka berpendapat, meskipun gejala autis pada anak terlihat semakin membaik, anak dengan autis harus tetap mendapatkan perawatan dan berusaha mempertahankan kemajuan tersebut.

"Autisme adalah sebuah kondisi serius, melumpuhkan dan diidap seumur hidup. Anak yang menderita autis di masa kecil akan tumbuh menjadi dewasa dengan autis. Meskipun tidak ada obat untuk autis, memberikan dukungan, membuat strategi untuk mengelola perilaku dan menciptakan lingkungan baik, dapat membantu anak mengelola kecemasannya dan kesulitan sensoriknya yang berhubungan dengan kondisi autisme," ungkap Dr Georgina Gomez-de-la-Cuestan, selaku pimpinan penelitian aksi dari The National Autistic Society, seperti dilansir melalui dailymail, Kamis (26/1).

Atasi Cegukan pada Bayi dengan Tisu Basah

Oleh : Fidelia
Bayi mudah cegukan habis menyusu
Foto : Ist
​Ghiboo.com - Cegukan adalah salah satu gerakan refleks dari tubuh dan disertai dengan suara yang khas akibat iritasi dari diafragma.  Diafragma memainkan peran utama dalam perjalanan respirasi dan proses metabolisme.

Diafragma menarik dan mendorong secara teratur yang mengatur masuk dan keluarnya udara selama proses respirasi.Struktur otot ini akan terganggu fungsinya jika ada sesuatu yang menghambat proses ini baik dari faktor eksternal ataupun internal.

Sebenarnya banyak acara untuk mengatasi dan menghilangkan cegukan pada bayi. Tapi ada satu cara lama yang mungkin digunakan oleh ibu dan nenek kita pada zaman dulu, namun masih cukup efektif yaitu tisu basah, kok bisa?

Caranya, sobek seujung jari tisu  lalu basahi  dengan ari hangat. Tempelkan di dahi buah hati Anda, tepat di antara kedua matanya, sambil senandungkan, "Ayo berhenti..ayo berhenti.

Mungkin cara ini terkesan aneh dan memang sangat lama sekali. Namun faktanya, tisu basah yang hangat mampu mengalihakn perhatian bayi sehingga konsentrasinya terpecah dari cegukan.

Saat bayi rileks, seluruh organ tubuhnya akan kembali normal dengan sendirinya. Selain itu, hipnosis dan  tisu hangat yang ditempelkan di dahi  merangsang kimiawi otak anak untuk memproduksi hormon-hormon yang membuatnya menjadi tenang.

Semoga bermanfaat!


(Berbagai sumber)

Heboh, Perempuan Melahirkan Bayi Tanpa Hamil

Jum'at, 27 Januari 2012 22:06 wib
2 88 
 0
Linawati menggendong anaknya yang baru dilahirkan (Dok: Sindo TV/Hartoyo)
Linawati menggendong anaknya yang baru dilahirkan (Dok: Sindo TV/Hartoyo)
PURWOREJO - Seorang perempuan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengalami peristiwa menakjubkan. Dia melahirkan seorang bayi, padahal tidak pernah merasa hamil.

Bayi berjenis kelamin perempuan itu lahir normal dan sehat pada Senin 16 Januari 2012 lalu sekira pukul 16.00 WIB.

Linawati (26), sang ibu, Jumat (27/1/2012), mengaku tidak mengalami tanda-tanda seperti orang hamil, seperti mual. Dia juga tidak merasa mengandung janin sehingga perutnya tidak membesar layaknya orang hamil. Menstruasi pun dialaminya setiap bulan dengan rutin. Padahal tanda-tanda perempuan hamil telat datang bulan. Dia juga mengikuti program KB menggunakan pil.

Perempuan warga RT 03/01, Dukuh Celeb, Desa Karangsari, Kecamatan Bener, juga masih menyusui anak pertamanya, Irma Asma Afrita Emaliana yang kini berusia 22 bulan. Proses kehamilan yang normal tentu akan mempengaruhi kualitas ASI.

Dia mengaku hanya merasa mulas dua jam sebelum kelahiran anaknya. Supriyanto, suami Lina, sempat menduga sakit perut disebabkan nasi goreng yang disantap istrinya sebelumnya.

Namun Supriyanto terkejut karena perut istrinya membesar dengan cepat setelah mengeluhkan mulas. Dia pun memanggil bidan desa. Setelah diperiksa, ternyata isi perut Lina adalah bayi yang sudah siap lahir. Atas saran bidan, proses kelahiran dilakukan di dalam kamar rumahnya.

Proses kelahiran pun disaksikan suaminya, Supriyanto (38); anak pertamanya, Irma Asma Afrita Emaliana (22 bulan), serta sang mertua, Suripto (65). Puluhan tetangga yang mendengar kabar ajaib itu juga mengikuti proses kelahiran dari luar rumah Lina. Anak yang diberi nama Eliya Suci Ekawati itu lahir dengan berat 2,6 kilogram dan panjang sekira 46 sentimeter.

Lina dan Supriyanto mengaku sangat bahagia, meski proses kehamilan ini aneh.

Supriyanto sempat memeriksakan kesehatan anaknya ke dokter. Dokter menyatakan Eliya sehat dan normal.

Meski sudah berlangsung 10 hari lebih, kejadian ini masih menjadi daya tarik warga Karangsari. Warga masih terus mendatangi rumah Lina untuk mendengar langsung peristiwa ajaib itu.

(Hartoyo/Sindo TV/ton)